Minggu, 23 Februari 2020

PENCEGAHAN KEPUNAHAN IKAN BELIDA (Notopterus Chitala)



PENCEGAHAN KEPUNAHAN IKAN BELIDA (Notopterus Chitala)




Salah satu penghuni perairan umum adalah ikan belida (Notopterus Chitala). Bagi masyarakat Sumatera Selatan, ikan belida sudah tidak asing lagi. Ikan tersebut merupakan salah satu bahan baku utama makanan khas daerah mereka seperti empek-empek, kerupuk, dan kemplang. Orang dikatakan belum ke Palembang kalau belum mencicipi makanan khas tersebut.

DISKRIPSI IKAN BELIDA

Secara taksonomi, ikan belida dapat di klasifikasikan sebagai berikut :
Phylum                             :     Chordata
Kelas                                 :     Pisces
Sub-Kelas                        :     Teleostei
Ordo                                  :     Isospondyli
Family                               :     Notopteridae
Genus                               :     Notopterus
Spesies                             :     Notopterus Chitala
Di setiap daerah, ikan belida mempunyai nama spesifik, yaitu belido (Sumatera Selatan dan Jambi), belida (Kalimantan Barat) dan ikan pipih (Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah). Nama dagang ikan belida adalah knife fishes. Ikan belida ini dapat tumbuh hingga mencapai 87,5 cm. Di Sumatera Selatan (sungai Lempuing), ikan belida berukuran 83 cm dengan bobot 6 kg pernah ditemui (Adjie & Utomo, 1994).
Ikan belida menghuni perairan sungai dan rawa banjiran di bagian tengah dari daerah aliran sungai (DAS). Pengamatan   DAS  Musi  menunjukkan   bahwa   ikan   belida banyak ditemui di sungai yang banyak terdapat rantingatau kayu dan diperairan rawa banjiran yang berhutan. Tempat tersebut merupakan habitat ikan belida untuk menjalankan siklus kehidupannya, mulai mematangkan gonad, memijah, merawat telur, merawat anakan hingga tumbuh besar menjadi induk. Habitat pemijahan induk ikan belida yaitu bagian perairan yang mempunyai kedalaman dari 1,5-2 m. Selama musim kemarau, ikan belida menghuni anak sungai dan ia akan menyebar ke perairan sekitarnya (rawa banjiran dan persawahan) selama musim penghujan. 

Ikan belida mempunyai bentuk badan pipih. Pola pertumbuhannya mengikuti alometrik. Ikan belida betina lebih gemuk dari pada ikan jantan. Untuk mencapai pertumbuhan tersebut, ikan belida menyantap ikan sebagai menu utamanya dan udang serta serangga air sebagai menu pelengkanya, sehingga ikan belida dapat dikategorikan ke dalam ikan buas (karnivora).
Menurut Adjie & Utomo (1994), ikan belida berukuran lebih dari 50 cm sudah memasuki usia dewasa dan diduga berusia lebih dari 3 (tiga) tahun.  Selanjutnya jumlah telur pada ikan belida ukuran 81-83 cm dengan bobot 4-6 kg per ekor adalah sekitar 1.194 – 8.320 butir.  Pengamatan Adjie et al. (1999)  di  Sungai  Batanghari dari  bulan  Mei – November menunjukkan bahwa ikan belida berukuran 70 – 93 cm dengan bobot 1,9 – 7,0 kg per ekor telah mempunyai telur, namun diameternya bervariasi dari 0,15 – 3,55 mm.  Smith (1945) melaporkan bahwa tidak semua telur ikan belida dikeluarkan pada saat memijah. Menurut Adjie et al. (1999) mengemukakan bahwa puncak musim pemijahan ikan belida terjadi pada bulan Juli (musim kemarau). Nelayan memancing pada musim kemarau dengan menggunakan pancing, empang arat, jaring insang, serta jaring insang khusus dipasang mendatar di permukaan air.      
Dari data produksi secara umum yang diambil dari Statistik Perikanan Indonesia selama 10 tahun (1989 – 1998) Anonim, 2000. secara umum terlihat bahwa produksi ikan belida dicapai pada tahun 1991. setelah itu produksinya cenderung menurun hingga tahun 1995 dan kemudian stabil hingga tahun 1998. penurunan produksi ikan belida tersebut menunjukkan bahwa populasi ikan tersebut sudah terancam kelestariannya. Di Sumatera ikan belida sudah mulai sulit didapat sejak 1995 dan banyak tertangkap di Sumatera Selatan. Sedangkan menurut survei plasma nutfah ikan di DAS Batanghari mengemukakan bahwa ikan belida sudah termasuk jenis ikan yang terancam kelestariannya.

FAKTOR - FAKTOR PENDORONG ANCAMAN KELESTARIAN IKAN BELIDA
1.   Peningkatan Intensitas Penangkapan
Intensitas penangkapan ikan belida di perairan umum terkait dengan peningkatan kebutuhan pasar. Permintaan pasar ikan belida terus meningkat akibat pasar makanan khas Sumatera Selatan tidak terbatas hanya di Sumatera Selatan saja. Hal ini mendorong peningkatan jumlah nelayan dan alat tangkap yang di operasikan untuk menangkap ikan belida. Laju peningkatan mortalitas ikan belida dialam oleh penangkapan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laju pemulihan kembali ketersediaan ikan tersebut dialam sehingga populasi ikan belida cepat berkurang.

2.   Penangkapan Induk Ikan Belida
Sungguhpun penangkapan ikan belida menggunakan alat tangkap sederhana, tetap akan terancam populasinya karena ukuran ikan yang ditangkap adalah besar sudah tergolong induk atau calon induk.  Induk belida dengan bobot 6 kg mengandung telur sebanyak 8.320 butir (Adjie & Utomo, 1994). Jika kita gunakan asumsi bahwa sekitar 1 % dari total telur (fekunditas) ikan belida dengan bobot 6 kg berhasil kembali menjadi induk, maka jumlah sediaan ikan di alam adalah sekitar 80 ekor atau setara dengan 480 kg. Artinya penangkapan satu ekor induk belida akan mengurangi  jumlahikan sebanyak 80 ekor yang mempunyai potensi telur sekitar 640.000 butir. 

3.   Pengoperasian Alat Tangkap Terlarang dan Tidak Ramah Lingkungan
Saat ini, alat tangkap racun sudah meluas digunakan oleh masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar perairan, setiap saat.  Ditambah lagi dengan penggunaan alat tangkap listrik yang menyebabkan kematian ikan secara massal. Di Sumatera Selatan, nelayan juga mengoperasikan jenis alat tangkap tuguk yang di pasang melintang di sungai kecil dan besar. Tuguk dianggap tidak ramah lingkungan karena prinsip kerjanya seperti trawl (pukat harimau) yang sangat tidak selektif.

4.   Peningkatan Tekanan Ekologis oleh Limbah
Sudah menjadi tradisi bahwa sungai merupakan tempat pembuangan limbah, semakin ke hilir, kadar limbahnya semakin tinggi. Menurut Pollnac & Malvestuto (1992), DAS Musi sebagai tempat hidup ikan belida dapat digolongkan ke dalam perairan yang mempunyai tekanan ekologis tinggi di Indonesia dibandingkan dengan Kalimantan (DAS Kapuas).  Penurunan kualitas perairan akibat limbah dapat mengganggu siklus hidup ikan belida.

5.   Pembukaan Lahan dan Pembangunan Infrastruktur
Pembukaan lahan dan pembangunan infrastruktur seperti jalan raya menjadi sumber gangguan siklus  kehidupan ikan, termasuk belida. Selama musim hujan tanah terkikis dan menjadi sumber peningkatan tingkat kekeruhan perairan dan pendangkalan perairan. Kekeruhan yang tinggi akan mengganggu proses sintesis fitoplankton dan selanjutnya mempengaruhi struktur komunitas di atasnya, khususnya larva dan ikan kecil yang menggantungkan hidupnya pada plankton. Gangguan tersebut akan mempersempit peluang ikan belida untuk mendapatkan makanan. Sehingga hal demikian akan mengganggu kestabilan ekosistem suatu perairan.

6.   Proses Penuaan Alami
Proses penuaan tidak bisa dielakkan lagi. Hanya makhluk hidup yang kuat saja yang mampu bertahan hidup. Menurut Pollnac & Malvestuto (1992), perubahan kondisi lingkungan perairan dan penangkapan ikan yang berlebihan dapat menurunkan populasi ikan. Perusakan habitat sangat berbahaya terutama bagi jenis yang hidup endemik yang dapat mengakibatkan kepunahan jenis ikan tersebut. Oleh karena itu kita harus berbuat agar anak cucu kita masih dapat menikmati rasa dan keindahan ikan belida, khususnya bagi masyarakat di Sumatera Selatan.

TINDAKAN PENCEGAHAN KEPUNAHAN IKAN BELIDA
Di beberapa daerah menunjukkan bahwa secara umum ikan belida sudah terancam kepunahan populasinya. Untuk mencegah kepunahan jenis ikan tersebut, maka perlu membuat suatu keseimbangan antara kematian akibat penangkapan dan proses alami dengan rekrutmen sediaan ikan tersebut. Diantara cara mencegah kepunahan ikan belida tersebut adalah :
v Mendirikan suaka perikanan
v Domestikasi
v Penebaran kembali,  dan
v Pengembangan budidaya menjadi alternatif pencegahan kepunahan yang strategis
Suaka perikanan, khususnya daerah pemijahan menjadi penting dalam tindakan mencegah kepunahan ikan belida. Suaka perikanan tersebut akan menajdi peluang kepada ikan belida untuk melakukan proses reproduksinya secara normal.
Domestikasi adalaj upaya manusia untuk menjinakkan ikan liar agar dapat tumbuh dan berkembang dalam kondisi terkontrol sesuai dengan keinginan mereka. Proses domestikasi dapat dimulai pemeliharaan ikan belida ukuran kecil   (benih)  atau   besar  yang  ditangkap  dari  alam  dalam wadah budidaya. Ikan tersebut diberi pakan secara teratur sehingga matang kelamin dan dipijahkan secara terkontrol.
Keberhasilan domestikasi ikan belida akan mendorong pengembangan budidaya yang dapat mengurangi tekanan penangkapan. Selain itu benih hasil pemijahan dapat ditebar kembali ke perairan umum.     


DAFTAR PUSTAKA
Balai Riset kelautan dan Perikanan (2002). Warta Penelitian Perikanan Indonesia.
Yayan dan Syafei L.S, 2005. Buku Seri Kesehatan Ikan “Ikan Belida Sehat Produksi Meningkat”. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian, Jurusan Penyuluhan Perikanan, Bogor.

Selasa, 04 Februari 2020

MENGENAL BUDIDAYA IKAN SIDAT (Angguila sp)

MENGENAL BUDIDAYA IKAN SIDAT (Angguila sp)




Sidat mempunyai bentuk yang relatif serupa dengan belut tetapi keduanya memiliki ordo yang berbeda. Menurut Bleeker, sidat mempunyai kasifikasi sebagai berikut
Filum                       : Chordata
Klas                         : Pisces  
Ordo                        : Apodes
Famili                      : Anguillidae
Genus                      : Anguilla
Spesies                    : Anguilla sp
Ciri utama sidat dewasa adalah bentuk tubuhnya menyerupai belut, namun jika diperhatikan ada beberapa perbedaan morfologi yaitu, sidat memiliki sirip ekor, sirip punggung, dan sirip dubur yang sempurna. Sedangkan belut tidak memiliki sirip sama sekali. Sirip sidat dilengkapi dengan jari-jari lunak yang dapat dilihat dengan mata biasa.Ketiga sirip yang dimiliki saling berhubungan menjadi satu mulai dari punggung keekor dan berakhir dibagian ventral tubuhnya.
Sidat mempunyai kulit lembut dan sangat berlendir.Sidat memiliki sisik yang ukurannya kecil yang terletak dibawah kulit. Dengan tidak adanya sisik yang besar, kemampuan sidat bernafas melalui permukaan kulit sama baiknya dengan melalui insang.
Sidat memiliki bagian tubuh yang sangat sensitif terhadap getaran terutama dibagian samping.Bagian tubuh yang sensitif ini membantu pergerakan sidat sebab kemampuan penglihatannya kurang baik.Disampnng itu organ penciuman, yang sangat pekah juga membantu mengatasi kelemahan daya penglihatannya.
Sidat merupakan hewan yang bersifat katadrom yaitu mampu hidup diair tawar dan air asin.Sidat kecil hidup diar tawar dan setelah dewasa bermigrasi ke laut untuk memijah. Pada proses migrasi pertama, elver berukuran panjang sekitar 7 cm dan pada migrasi tahap kedua yaitu berukuran 15-20 cm dan besarnya seperti pensil.
Larva sidat (Leptocephalus) berukuran 5 mm secara fasif terapung mendekati pantai dan muara sungai. Setelah berumur 4 tahun hingga 8 tahun, sidat sudah matang kelamin dan akan berusaha mencapai perairan yang dapat mengantarkannya kelaut dalam untuk memijah.
Perpindahan sidat (migrasi) sidat menuju daerah baru  yang cocok untuk melakukan pemijahan dikenal dengan ruaya yang merupakan kebutuhan dasar dan merupakan mata rantai dalam mempertahankan kelestariaannya. Ruaya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sidat dengan tujuan tertentu yaitu, untuk mengadakan aktivitas pemijahan dan untuk mencari makan dan menuju daerah asuhan serta mendapatkan lingkungan baru karena lingkungan asalnya tidak menunjang lagi.
Dalam beruaya untuk mengadakan aktivitas pemijahan, sidat yang telah matang kelamin menuju kelaut yang dalam antara 4.000.- 5.000 m. telur sidat   melayang dan bersifat planktonis.  Telur sidat yang berhasil menetas akan menghasilkan larva yang di kenal dengan sebutan lepthocephalus yang bergerak kepermukaan air sesuai dengan perkembangan tubuhnya dan menyebar keberbagai arah dengan menghanyutkan diri mengikuti arus permukaan laut.
Pada saat  memasuki perairan tawar, terjadi perubahan bentuk tubuh larva sidat yang berbentuk pipih dan transparan menjadi elver yang tubuhnya berbentuk silinder. Bersamaan dengan itu sidat akan berubah menjadi lebih pendek, bertambah gelap, dan terjadi pergantian gigi susu menjadi gigi permanen.
Elver yang berhasil mengatasi semua hambatan akan hidup di air tawar dan tumbuh menjadi dewasa. Setelah mencapai matang kelamin, sidat dewasa secara naluri akan berusaha kembali ke laut dalam melakukan aktivitas pemijahan.
Di air tawar sidat hidup dihabitat  bebatuan yang digunakan sebagai tempat perlindungan terutama dari terik matahari. Dan sering dijumpai didaerah berlubang-lubang gelap atau membenamkan dirinya dalam Lumpur di dasar perairan.
Matang kelamin sidat jantan relatif lebih cepat daripada induk betina. Sidat jantan matang kelamin pada usia 3 thn – 4 thn dan betina pada umur 7 – 8 tahun. Sidat yang matang kelamin panjang tubuhnya 60 – 160 m cm dan ditandai dengan perubahan tubuhnya yang semakin gelap, bagian perutnya berwarna orange terang, dan dasar sirip dada berwarna kuning keemasan.
Sidat jantan dan betina yang telah matang kelamin akan berusaha mencari jalan keluar untuk beruaya menuju laut. Dalam upaya menuju kedaerah pemijahan, sidat akan berenang dibawah permukaan air. Ruaya sidat ini biasanya dilakukan pada malam hari, saat suasana lingkungan disekitarnya sudah cukup gelap.
Jumlah gerombolan sidat yang akan beruaya dapat mencapai ribuan sehingga sering menimbulkan perubahan warna perairan yang dilaluinya. Mereka bergerak secara berpasang-pasangan, sebab telur sidat yang telah dikeluarkan oleh induk betina harus segera dibuahi oleh sperma dari induk jantan.
Selama perjalanan ketempat pemijahan, induk sidat menghentikan aktivitas makan sehingga warna tubuhnya yang semula cokelat kehitam-hitaman berubah menjadi kekuning-kuningan dan akhirnya menjadi keperak-perakan. Akibat lain yang timbulkan karena berhenti makan adalah rusaknya saluran pencernaan sehingga setelah melaksanakan aktivitas pemijahan induk sidat akan menemui ajalnya.

PEMELIHARAAN SIDAT

Di Indonesia pemeliharaan sidat masih tergolong baru, sehingga teknologinya belum banyak dikuasai petani ikan secara benar.Pemeliharan sidat pada umumnya masih merupakan usaha pembesaran, yaitu benih yang ditangkap dialam dipelihara dikolam hingga mencapai ukuran tertentu sesuai dengan permintaan konsumen.
Benih sidat berasal dari alam biasanya ditangklap oleh petani saat akan menuju perairan tawar. Penangkapan elver biasanya dilakukan di mulut sungai pada saat air sedang pasang. Ukuran panjang  benih sidat bervariasi antara 5 cm – 7 cm, tergantung pada benih sidat. Tubuh benih sidat umumnya berwarna bening dan beratnya antara 0,15 g – 2,0 g.
Tahap Pemeliharaan Sidat
Ada dua tahap pemeliharaan sidat , yaitu pemeliharaan impunan dan pemeliharaan lanjutan. Pemeliharaan impunan adalah pemeliharaan sidat yang dilakukan dikolam elver sejak ditangkap dari perairan hingga siap ditebar dikolam pemeliharaan pertama.Pemeliharaan lanjutan adalah pemeliharaan sidat dikolam kedua, yaitu sejak sidat dipanen dari hasil pemeliharaan dikolam elver atau kolam pemeliharaan pertama.
1.  Pemeliharaan  di Kolam Elver
Pemeliharaan sidat dikolam elver adalah pemeliharaan benih sidat yang baru diperoleh dari alam (elver). Benih yang akan ditebarkan diperiksa untuk mengetahui dan mencegah terjadinya luka, penyakit, atau lemah.
Padat penebaran benih sidat biasanya antara 150 g – 300 g/m2. pada pemeliharaan sidat secara intensif maka padat penebarannya dapat ditingkatkan hingga mencapai 600 g – 1.200 g/m2. tingkat kelangsungan hidup benih pada pemeliharaan intensif adalah berkisar antara 80% - 90% setelah benih sidat mencapai ukuran 1 gram.
Pakan yang terbaik pada saat pemeliharaan elver adalah cacing tubifex. Pada  lima hari pertama pakan diberikan dengan ditebarkan disekitar dinding kolam. Selanjutnya areal pemberian pakan tersebut dipersempit hingga akhirnya pemberian pakan dipusatkan pada satu tempat tertentu. Dengan cara ini sidat diperbiasakan makan pada tempat tertentu dan waktu tertentu.
Pemberian pakan pada dua minggu pertam adalah dua kali yaitu pagi dan sore hari pada minggu ketiga dan keempat pemberian pakan mmulai dilakukan dengan mengkombinasikan pakan alami dan pakan buatan. Secacra pelan-pelan, jumlah pakan buatan ditingkatkan sehingga pada akhirnya seluruh pakan benih sidat adalah pakan buatan.
Lama pemeliharaan elver dikolam impunan kurang lebih satu bulan. Benih sidat diseleksi dan dipelihara dikolam berikutnya. Kolam pemeliharaan sebaiknya ditebari elver yang berukuran relatif sama untuk menghindari kanibalisme elver yang lebih besar tehadap elver yang kecil.
2.  Pemeliharaan Dikolam Pertama
Pemeliharaan dikolam pertama adalah pemeliharaan sidat hasil panen dari kolam pemeliharaan elver. Lama pemeliharaan dikolam pertama berkisar antara empat bulan sampai enam bulan, tergantung pada ukuran sidat yang dikehendaki.
Cara pemliharaan dikolam pertama pada prinsipnya merupakan lanjutan dari cara pemeliharaan kolam elver, tetapi tingkat kepadatannya ditambah yaitu 3 kg – 6 kg/m2. benih yang diperoleh dari kolam elver diseleksiberdasarkan bobot tubuh. Benih sidat yang ukurannya relatif sama dipelihara dalam satu kolam dan yang lainnya dipelihara dalam kolam terpisah.
3.  Pemeliharaan di Kolam Kedua
Pemeliharaan dikolam kedua adalah pemeliharaan sidat yang diperoleh dari kolam pemeliharaan pertama. Lam pemeliharaan dikolam kedua biasanya dilakukan hingga sidat mencapai usia atu tahu atau lebih.
Pada suatu peride pemeliharaan selalu dijumpai sekelompok sidat yang mempunyai lajupertumbuhan relatif lebih baik dibanding dengan yang lain. Pemeliharaan sidat dikolam kedua ini sebaiknya dilakukan seleksi kembali terhadap benih yang diperoleh dari kolam pemeliharaan pertama.Tujuan dilakukan seleksi ini adalah menghindari pemeliharaan sidat dengan ukuran yang berbeda.
Padat penebaran sidat pada pemeliharaan kolam kedua ini sedikit lebih tinggi daripada pemeliharaan sebelumnya, yaitu 9 kg – 21 kg/m2.



DAFTAR  PUSTAKA

Daelani, Deden. 2001. Agar Ikan Sehat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ghufron, M.2004. Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Hermanto, Ning, 2004. Menggempur Penyakit Hewan Kesayangan dengan Mahkota Dewa. Penebar Swadaya, Jakarta.
Liviawaty, E dan Afrianto, Eddy, 1998. Pemeliharaan Ikan Sidat. Penerbit,  Kanisius, Yokyakarta.
Mangayu S. dan Syafei L.S, 2005. Buku Seri Kesehatan Ikan “Sidat Sehat Produksi Meningkat”. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian, Jurusan Penyuluhan Perikanan, Bogor